mengingat kolonialisme Inggris yang berkuasa memang sengaja membuka
selebar-lebarnya arus migrasi dari Sumatra dan Jawa, pertama-tama untuk
mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja sebagai akibat masih sedkitnya
populasi manusia di kedua negara tersebut.
Bahkan pada akhir abad ke 19, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan
baru di Sumatra Timur, pemerintah kolonial Belanda mengirim ribuan orang Jawa
ke Sumatra untuk diperkerjakan sebagai buruh di perkebunan seperti perkebunan
tembakau maupun juga pabrik gula. Ekspor orang Jawa ternyata tidak hanya ke
Sumatra Timur tetapi juga ke Suriname, Kaledonia Baru dan juga Vietnam.
Pemerintah kolonial Belanda menutupi praktek ekspor manusia ini dengan bungkus
program Politik Etis atau Balas Budi yang mereka sebarluaskan akan meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia. Perluasan perkebunan yang sangat cepat, dan
berdirinya pabrik pengolahan hasil perkebunan, telah menyebabkan meningkatnya
kebutuhan tenaga kerja. Jumlah buruh perkebunan dari Jawa ternyata belum
mencukupi sehingga pemerintah kolonial Belanda pada saat yang bersamaan juga
mendatangkan tenaga kerja dari Cina. Kehidupan buruh perkebunan sangatlah berat
dan menderita disebabkan oleh rendahnya upah dan buruknya kondisi kerja. Bahkan
seringkali mereka tidak dibayar karena uang gaji mereka dirampas oleh para
mandor, dan kekurangan bahan makanan dan pakaian menjadi pemandangan umum yang
dapat dilihat di perkebunan-perkebunan masa itu. Para buruh yang tidak tahan
atas beratnya penderitaan banyak yang melarikan diri, namun kemudian mereka
akan mendapatkan siksaan yang berat ketika berhasil ditemukan atau ditangkap.
Hal ini menjadi legal karena pemerintah kolonial Belanda menerbitkan Koelie
Ordonantie yang memberikan hak secara legal kepada para pemilik perkebunan
untuk memberikan hukuman kepada para buruhnya yang membangkang atau melawan.
Perempuan Jawa dan Cina pada waktu itu juga banyak yang diperdagangkan,
dipaksa menjadi pelacur di wilayah perkebunan dan ada yang menjadi wanita
simpanan para mandor dan pegawai perkebunan yang berkebangsaan Belanda.
Pemerintah kolonial juga menggunakan migrasi sebagai jalan keluar untuk
menyalurkan keresahan sosial sebagai akibat dari penghisapan ekonomi dan
tekanan penduduk di banyak daerah pedesaan di Jawa dengan cara memindahkan
mereka ke pulau-pulau luar Jawa. Catatan penting pada masa kolonial bahwa
migrasi yang berlangsung pada waktu itu sepenuhnya didominasi oleh kebijakan
kolonial yang diabdikan untuk kepentingan negeri kolonial Terutama dalam hal
pengerahan atau mobilisasi tenaga kerja murah ke tempat-tempat di mana sumber
keuntungan kolonial berada, dan pada saat yang bersamaan telah membawa jutaan
manusia dari berbagai asal usul etnis dan bangsa ke dalam situasi penderitaan
yangsangat berat.
MASA PASCA KOLONIAL
Sekalipun Indonesia telah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdiri sendiri semenjak 17 Agustus 1945, namun keadaan ekonomi, politik dan kebudayaan tidak mengalami perubahan secara mendasar. Pada kenyataannya, ekonomi Indonesia masih tetap di bawah dominasi ekonomi kolonial sekalipun tidak secara langsung. Imperialisme (kapitalisme monopoli asing) khususnya Amerika Serikat masih menjadi pihak yang mendominasi Indonesia dalam berbagai aspek khususnya ekonomi. Pada masa Soeharto, Indonesia menjadi sasaran empuk imperialisme asing (AS, Inggris, Jepang) sehingga posisinya tidak lebih sebagai penyedia bahan mentah karena kekayaan alamnya, sumber buruh murah sekaligus pasar yang menggiurkan mengingat penduduknya yang melimpah.
Dampaknya, ekonomi Indonesia tidak berkembang ke arah yang lebih maju
dan tidak memiliki dasar-dasar untuk memberikan jaminan bagi kesejahteraan
rakyatnya. Karena pembangunan Indonesia sangat tergantung pada modal asing baik
berupa bantuan maupun hutang, dan pada saat yang bersamaan sumber kekayaan alam
dikuasai perusahaan asing, maka tidak pernah ada upaya untuk membangun industri
nasional yang kuat. Negara-negara industri maju tidak pernah mengijinkan
tumbuhnya industri yang kuat di Indonesia. Hal itu akan membuat mereka memiliki
pesaing dari dalam negeri dan barang-barang produksi mereka tidak akan laku
karena Indonesia bisa memproduksi sendiri. Akibatnya kemudian adalah sedikitnya
jumlah pabrik yang didirikan dan ini membuat ketidaksanggupan sektor industri
membuka lapangan pekerjaan dan menyerap angkatan kerja yang sangat melimpah.
Inilah yang membuat mengapa tingkat pengangguran di Indonesia selalu berada di
angka yang sangat tinggi.
Demikian pula pembangunan pabrik-pabrik hanya terpusat di beberapa kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Makasar sehingga
mengakibatkan munculnya pola migrasi pertama yang sering dikenal dengan
urbanisasi. Laju urbanisasi bertambah parah ketika pengangguran di pedesaan
menggelembung dan menjadi tidak terkendali. Namun karena meningkatnya laju
urbanisasi tidak disertai dengan kemampuan kota menyerap tenaga kerja maka
pengangguran semakin tidak terpecahkan.
Sementara pengusaha-pengusaha besar dalam negeri
maupun juga asing semakin aktif dan agresif untuk membuka usaha ekonomi di luar
Jawa yang kaya dengan sumber alam dan memiliki jutaan hektar tanah yang masih
belum produktif. Maka banyak perusahaan besar tersebut dengan bantuan negara
membuka perkebunan-perkebunan besar di luar Jawa terutama untuk ditanami
tanaman komoditi ekspor seperti Sawit, Karet, Kakao dan sebagainya.
Perkembangan tersebut seperti juga yang terjadi di masa kolonial, telah
meningkatkan kebutuhan akan tenaga kerja. Hal inilah yang telah mendorong
pemerintah atas persekongkolan dengan para pengusaha,
No comments:
Post a Comment